Rumitkah Mengurai Kesimpangsiuran Sampah, Antara Aturan dan Kewenangan?

Rata-rata waste collection rate di Indonesia {sampah yang dihasilkan oleh Rumah Tangga (RT) itu terkumpul di TPA/Tempat Pemrosesan Akhir} hanya 36.39 % berdasarkan data Direktorat Perkotaan, Perumahan dan Permukiman, Bappenas, 2018. Selain itu laporan NPAP (National Plastic Action Partnership) menyebutkan bahwa rata-rata nasional hanya 39% sampah plastik yang terkumpul.

Konsekuensi dari dua figure ini adalah masih banyaknya sampah yang tercecer di daratan, sungai, dibakar dan bahkan ada yang sampai ke lautan (90 % sampah lautan itu dari daratan). Belum lagi bicara tentang 3R (Reduce atau tindakan mengurangi sampah seperti membawa kantong sendiri, Reuse atau tindakan menggunakan kembali bekas produk seperti gelas piring plastik, and Recycle atau tindakan mendaur ulang organik dan non organik/plastik untuk dijadikan bahan baku atau handycraft) yang angkanya masih di bawah 5 % rata-rata nasional (RPJM 2020 – 2024).)

[Tampak Presiden Joko Widodo sedang meninjau TPA Manggar Balikpapan. Foto: Muchlis Jr – Biro Pers Sekretariat Presiden]

Kemungkinan, awal-pangkal rendahnya waste collection rate di Indonesia dimulai dari pembagian urusan kewenangannya, yaitu sampah yang dikelola di Dinas PUPR, dan di lain pihak dikelola oleh Dinas LHK. Dualisme!

Menjadi tambah sengkarut, karena konteks saat ini (keadaan/masalah) dibarengi dengan aturan yang tidak sejalan. Contohnya yang “berbunyi di PP dan Permendagri 33/2010”, pengelolaan persampahan yang membagi tanggung jawab, yaitu sampah dari RT ke TPS menjadi tanggung jawab RT/RW, dan dari TPS ke TPA menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

Dengan masih rendahnya waste collection rate di Indonesia, yang juga dibarengi dengan dualisme pembagian urusan kewenangan persampahan di kabupaten dan kota, serta adanya penggalan pengelolaan tanggung jawab persampahan (tanggung jawab RT/RW (community institution) vs tanggung jawab Pemerintah Daerah), niscaya target 70 % di 2025 untuk penanganan sampah rasanya sulit tercapai (Perpres 97/2017).

Sampah simpang siur? Boleh dibilang begitu, kenapa?

Awalnya begini. Di satu pihak sampah diurusi oleh Dinas PUPR/ Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (kabupaten dan kota) secara fisiknya dan menjadi urusan wajib pelayanan dasar. Di lain pihak, sampah menjadi urusan wajib namun bukan pelayanan dasar yang dikelola oleh Dinas LHK/Lingkungan Hidup dan Kebersihan (kabupaten dan kota). Pembagian urusan pengelolaan kewenangan yang telah diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah ini telah diatur melalui UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Ada kegamangan – dalam penafsiran dan pelaksanaan urusan kewenangan ini – akibat tidak utuhnya kewenangan ini diletakan hanya pada satu dinas saja. Dengan dualisme ini, sangat dimungkinkan overlapping kegiatan yang ujung-ujungnya tidak efisiennya penggunaan anggaran Pemerintah Daerah. Selain itu, dengan kondisi koordinasi yang lemah di tingkat birokrasi, maka akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan yang sama dalam pengelolaan persampahan.

Tak heran kalau kemudian, sampah ibarat ‘sudah jatuh tertimpa tangga pula’. Peribahasa itu tepat sekali untuk menganalogi isu persampahan di Indonesia. Sudah simpang-siur karena pembagian urusan kewenangan, ditambah ada juga aturan yang mendukungnya tidak utuh atas membaca konteks saat ini (bahkan telah terjadi pada saat diterbitkannya UU Persampahan-UU 18 Tahun 2008) s/d masa 15 s/d 20 tahun kedepan.

Contoh kasusnya adalah, aturan pengangkutan sampah yang dari RT/Rumah Tangga s/d TPS/Tempat Penitipan sementara itu dilakukan (pengumpulan & pengangkutan) oleh community institution (lembaga komunitas di tingkat RT/Rukun Tetangga dan RW/Rukun Warga), sedangkan untuk kabupaten dan kota pengumpulan & pengangkutan dari TPS ke TPA/Tempat Pemrosesan Akhir sampah menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota). Walaupun secara keseluruhan pengelolaan persampahan (pengumpulan, pemilahan, pengangkutan, dan pemrosesan) itu tanggung jawab Pemerintah Daerah.

Dualisme! Ketidakjelasan dan akhirnya berakibat – salah duanya – pengelolaan sampah saat ini tidak pernah selesai di tingkat tapak/komunitas. Walhasil, dengan mudahnya ditemukan sampah yang berserakan setelah 3-10 langkah keluar dari rumah.

Sesungguhnya, seharusnya dan idealnya tanggung jawab penuh pengelolaan sampah dari RT s/d TPA itu harus Pemerintah Daerah. Tentunya tanggung jawab penuh ini amat harus disertakan bantuan pendanaan dan bantuan teknis dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi.

Di kota-kota negara maju (Belanda, Australia, dan negara maju di benua eropa lainnya), serta di negara peer-countries seperti Malaysia, Brazil, Filipina, pengelolaan persampahan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (kota-kota). Saat sampah RT diletakan di tempat (tong-tong) sampah di depan rumah, maka petugas kebersihan kota mengangkutnya (baik ke TPST/Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu) atau langsung ke TPA.

Namun demikian, terlepas itu – pengelolaan sampah dari RT s/d TPA – menjadi tanggung jawab penuh pemerintah daerah, bukanlah tidak boleh community institution terlibat di pengelolaan persampahan. Sangat amat dibolehkan, karena mazhab persampahan itu adalah waste management at sources atau pengelolaan persampahan dari sumber (RT dan atau Kawasan).

Banyak sekali champion- champion dari kepala desa dengan BUMDes-nya, pengelola Bank Sampah, serta pelaku-pelaku sukarela yang di community free waste movement dengan moto gerakan bebas sampah berhasil di tingkat komunitas. Namun karena skalanya mikro dan knowledge basis-nya belum banyak terstrukturkan, lebih pada tacit knowledge, maka impact untuk skala kabupaten dan kota belum amat banyak terlihat.

Berbicara konteks, maka itu berbicara tentang masalah (keadaan) yang ada saat ini, dan tentang aturan yang sigap untuk menghadapi keadaan saat ini. Contoh kasus pada saat ini waste collection rate di Indonesia itu masih 36,39 %, maka mau tidak mau, waste management at sources-nya itu harus dibarengi dengan pengelolaan persampahan yang harus bersandar pada angkut – kumpul – buang (RT s/d TPA), yang ini lagi-lagi ditekankan harus menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah Daerah.

[Tampak pemandangan di TPA Manggar Balikpapan. Foto: Fachmi Rachman/TribunKaltim]

Mendapat gambaran simpang-siur antara konteks dan aturan, maka mau tidak mau aturan yang menyebutkan dualisme itu harus dirubah. Melihat konteks, suka tidak suka, “bunyi” di aturan pelaksana baik itu di Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permen) sudah seharusnya pengelolaan persampahan (pengumpulan, pemilahan, pengangkutan dan pemrosesan) dari RT s/d TPA harus menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Kabupaten dan Kota).

Selain itu, sudah seyogyanya, pelayanan persampahan harus masuk menjadi kategori urusan wajib pelayanan dasar. Maksudnya, baik dari sisi soft approach maupun hard approach, itu harus di ranah sanitasi (kebersihan) – acuan dokumen perencanaannya – salah tiganya – adalah Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK).

Dengan semangat untuk tidak ‘telanjur basah dan terlanjur dalam’ dikesimpangsiuran ini, upaya telah dilakukan oleh Systemiq yaitu dengan menyampaikannya Policy Research Systemiq ke pemangku kepentingan (advokasi) – melalui media zoom meeting pada tanggal 9, 13 dan 17 Juli 2020. Upaya melalui zoom meeting ini antara lain, menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) tentang Pengelolaan Persampahan Kabupaten dan Kota dengan mengundang Asosiasi Pemerintahan Kabupaten dan Kota Seluruh Indonesia (Apkasi, Apeksi, Adkasi dan Adeksi), serta Systemiq melakukan audiensi dengan Bappenas yaitu ke Direktur Perkotaan, Perumahan dan Permukiman, serta ke Direktur Lingkungan Hidup.

Adapun Policy Research Systemiq menitikberatkan pada: (1) upaya mengembalikan kewenangan persampahan untuk dikelola sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah dengan menerbitkan kembali Permendagri 33/2010 atau membuat baru; (2) Sosialisasi Penerapan Kelembagaan BLUD untuk pengelolaan persampahan kabupaten dan kota yang professional dan efisien (memisahkan peran regulasi dan operasi); (3) Peningkatan Pembiayaan Pengelolaan Persampahan Kabupaten dan Kota (Pendanaan dari Pusat dan Provinsi).

Di upaya advokasi ini, sangatlah tidak fair dan etis apabila membebankan suatu tanggung jawab terhadap sesuatu tanpa ada bantuan untuk kapasitasnya dalam menjalankan tanggung jawabnya. Maka, selain dari meluruskan kesimpangsiuran ini, usulan lainnya yang juga disampaikan ke Bappenas (dan nantinya ke Kementerian terkait lainnya) adalah agar adanya alternative variasi pendanaan yang terdedikasi untuk pengelolaan persampahan kabupaten dan kota, atau dalam “Bahasa Betawi-nya”: There Must be a Fully Dedicated Waste Management Funding for Kabupaten and Kota.

Akhirnya, upaya-upaya advokasi seperti di atas, tidak lain tidak bukan adalah untuk membantu Pemerintah Indonesia, khususnya dalam pengelolaan persampahan di Kabupaten dan Kota menjadi lebih baik. Harapan kami untuk para Asosiasi Pemda kiranya dapat mendukung upaya advokasi ini, khususnya bersama-sama menyampaikan Policy Research Systemiq kepada kementerian terkait, dalam hal ini ke Kemendagri, KLHK, KPUPR, Kemenkeu dan Bappenas. [Novel Abdul Gofur, Waste Management Policy Expert-Systemiq]