Pajak Daerah adalah iuran wajib terutang oleh orang pribadi atau badan kepada daerah yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan Retribusi Daerah merupakan pungutan wajib atas jasa atau pemberian izin tertentu yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan. Dari kedua ini merupakan suatu hal yang vital terhadap kontribusi pembangunan Daerah.
Menurut Hendriawan Direktur Pendapatan Daerah Kemendagri pada Tahun 2024 adanya usulan 346 Daerah otonom baru. Sehingga jika terealisir maka anggaran yang diberikan oleh pusat dalam hal ini negara berkurang karena kepentingan yang semakin banyak dan kompleks.[1] Pemerintah kota dalam hal ini dituntut untuk mandiri secara fiskal dalam mengelola pajak daerah dan retribusi daerah.
Dalam Pendapatan Pajak tersebut di bagi untuk kepentingan elektoral birokrasi. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), terdapat 7 jenis pajak daerah yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, yaitu:
- Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
- Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
- Pajak Air Permukaan
- Pajak Rokok
- Pajak Hotel dan Restoran (khusus daerah yang tidak memiliki kabupaten/kota)
- Pajak Hiburan (khusus daerah yang tidak memiliki kabupaten/kota).
Pada Proporsi pembagian pajak daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Salah satunya pada Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dibagi untuk pemerintah pusat 10%, pemerintah provinsi 20% dan Pemerintah Kabupaten/Kota 70%. Dalam dinamika yang terjadi, Pemerintah Daerah Kota merupakan garda terdepan dalam pemanfaatan Pajak. Pemerintah kota yang benar berhadapan langsung kepada masyarakat baik dari segi pelayanan dan inovasi sehingga memungkinkan masyarakat untuk mau membayar pajak dan retribusi daerah.
Banyak dari kota-kota di Indonesia yang mengalami defisit pajak dikarenakan kurangnya pengembangan pengelolaan pada sistem pendataan dan pelayanan pajak di era globalisasi saat ini. Harus adanya tata Kelola yang berbasis digitalisasi baik dalam solusi pengelolaan internal seperti penyediaan aplikasi, mengakomodir media, arsitektur berbasis service, data mutakhir yang lengkap dan kemudahan pengelolaan data tagihan sentral untuk seluruh tagihan sentral pajak dan solusi pelayananeksternal mulai dari pendaftaran, pelaporan, BPHTB, SPPT, Pengecekan tagihan atau kode billing, pembayaran yang berbasis online. Dalam teknis pelayanan eksternal dapat juga menambah inovasi lainnya seperti QRIS payment, Chat online dengan bantuan AI/BOT, Notifikasi pengingat otomatis dan potensi solusi lainnya.
Dalam pengembangan Inovasi tersebut dibutuhkan fase strategi yang terstruktur mulai dari fase awal yaitu pembenahaan data fundamental dan optimalisasi penerimaan jangka pendek, fase menengah yaitu penguatan budaya layanan professional dan fase lanjutan yaitu penguatan pengawasan dan stabilitas penerimaan.
[1] Pemaparan pada Focus Group Discusion Tata Cara Kerjasama Pemanfaatan Data dan Pendataan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Tanggal 20 Maret 2024.
Artikel oleh: Thoriq Hardiansyah #APEKSInitenship