Makan Siang Bergizi ala Jepang

Menu makan siang anak-anak sekolah di Kota Toyota, Jepang, pada 6 Juni 2025.

JAKARTA. Siang itu, notifikasi WhatsApp Group kantor berbunyi. Sebuah pesan masuk disertai foto makanan dalam wadah serba putih. Ini makan siang saya. Menunya sama persis dengan 48 ribu anak di Kota Toyota, Jepang,” tulis Alwis Rustam, Direktur Eksekutif APEKSI, yang tengah melakukan kunjungan kerja ke Negeri Sakura.

 

“Wah, makanannya menarik,” komentar beberapa kolega. Satu per satu mulai menebak isi piring: ada lauk apa saja, itu sup atau kari, dan kenapa semuanya terlihat begitu bersih dan seragam.

 

Tak lama berselang, masuk pula sejumlah klip video pendek. Cuplikannya menggambarkan keseluruhan proses penyediaan makan siang di sekolah: mulai dari pemilahan dan pemrosesan bahan makanan, proses memasak dalam skala besar, pembersihan peralatan makan, hingga diskusi serius dengan manajer dapur dan ahli nutrisiuntung ada penerjemah.

 

Menariknya, semua ini adalah bagian dari kyūshoku—program makan siang bergizi di sekolah yang telah berjalan lebih dari 100 tahun di Jepang. Bukan sekadar memberi makan, tetapi juga mendidik anak-anak tentang gizi, kebersihan, dan etika makan.

 

Saking penasaran, kami pun mewawancarai Pak Alwis setibanya beliau di Jakarta. Berikut petikan wawancaranya:

 

Makan siang bergizi untuk anak sekolah di Kota Toyota, Jepang

 

T: Pak Alwis, bisa cerita sedikit tentang program MBG ala Jepang?

J: Sebenarnya, lebih tepat disebut Program Makan Siang Bergizi di Sekolah. Di Jepang, ini dikenal dengan istilah kyūshoku. Program ini sudah punya dasar hukum sejak 1954. Lalu pada 2005, pemerintah memperkenalkan konsep Shokuikupendidikan tentang pangan dan gizi. Nah, Shokuiku inilah yang menjadi dasar pengembangan kyūshoku modern: bukan hanya soal gizi, tapi juga pembentukan kebiasaan makan sehat dan penghargaan terhadap makanan.

 

T: Wah, jadi ini bukan hal baru di Jepang?

J: Betul. Ini sudah jadi bagian dari sistem pendidikan mereka. Di Kota Toyota, praktik ini bahkan sudah dimulai sejak 1960. Dan yang menarik, seluruh proses kyūshoku dijadikan sebagai bagian dari pembelajaran. Tobu Lunch School Center sendiri sering menerima kunjungan anak-anak yang belajar bagaimana makanan mereka disiapkan dan orang-orang yang berperan dibalik setiap porsi makanan yang mereka makan.

 

T: Apakah sejak 1960 langsung diterapkan di seluruh Jepang?

J: Tidak langsung masif. Tapi setiap tahun selalu ada kemajuanbaik dari segi pelayanan, peralatan, zona distribusi, maupun SDM. Semua dilakukan secara bertahap.

 

T: Apa maksudnya zona? Apakah mirip dengan sistem zonasi di Indonesia?

J: Meskipun ada undang-undangnya, tiap kota diberi keleluasaan dalam implementasi. Ada kota yang membangun dapur di setiap sekolah, ada juga yang memakai sistem dapur zonasi. Di Kota Toyota, mereka menggunakan model zonasi: ada lima pusat dapur untuk melayani 48.000 siswa SD dan SMP. Saya sempat mengunjungi salah satunya, yakni Tobu School Lunch Center.

 

T: Wah, berarti satu pusat dapur melayani sekitar 10.000 anak setiap hari. Tantangannya pasti besar.

J: Benar. Tapi sistemnya melibatkan multipihak. Pemerintah menggandeng swasta dan lembaga keuangan melalui kontrak berbasis PFI (Private Finance Initiative) selama 15–20 tahun. Bahan pangan berasal dari petani lokal maupun luar kota, tapi semua diatur melalui perusahaan yang menjaga kualitas dan kuantitas. Di Tobu sendiri, ada 100 juru masak dan 50 tenaga kebersihan.

 

T: Bagaimana dengan keamanan makanan? Apakah pernah ada kasus keracunan?

J: Dari informasi yang saya dapat, sejauh ini belum pernah ada kasus keracunan makanan. Tapi mereka pernah mendeteksi E. coli  O157, dan bisa langsung ditangani berkat sistem kontrol kualitas yang ketat.

 

T: SDM-nya lengkap ya?

J: Sangat lengkap. Ada ahli gizi, ahli boga, tenaga kesehatan masyarakat, petugas kebersihan alat, dan ahli yang menangani alergi, diet penyakit tertentu, hingga pantangan berdasarkan agama. Dapur pun dipisah dan diatur secara steril. Dua manajer bertanggung jawab atas operasional dan keuangan.

 

T: Komposisi makanan diperhitungkan betul ya?

J: Iya, dan yang menarik: aspek visual jadi prioritas utama. Warna makanan harus menarik untuk anak-anak, maka wadah makanan pun didesain berwarna putih agar keanekaragaman warna makanan menonjol. Ini penting karena makan siang juga jadi momen sosial anak. Komposisi gizi tentu ditakar dengan cermat agar tetap seimbang dan minim sisa.

 

T: Anak-anak dilibatkan juga dalam prosesnya?

J: Iya. Di Kota Toyota, tiap hari anak-anak bergiliran mengumumkan menu makan siang melalui siaran radio sekolah. Ini bagian dari pendidikan dan membangun rasa tanggung jawab mereka.

 

T: Berapa biaya makanan per anak per hari, kalau dirupiahkan?

J: Sekitar 80 ribu rupiah per anak per hari.

 

T: Apakah anak-anak suka makanannya?

J: Berdasarkan hasil survei yang saya dapat, sekitar 60 persen anak menyatakan makanannya menarik.

 

T: Menurut Bapak, apakah sistem seperti ini bisa diterapkan di Indonesia?

J: Bisa, tapi tentu perlu tahapan. Ada beberapa pelajaran penting dari Jepang. Pertama, kyūshoku atau shokuiku bukan sekadar memberi makan, tapi juga pendidikan gizi dan pangan. Kedua, semuanya dilakukan bertahapmulai dari layanan, peralatan, pasokan, hingga integrasi dengan pendidikan. Ketiga, mereka punya SOP yang ketat dan SDM profesional. Keempat, anak-anak dilibatkan, bahkan hingga urusan warna piring. Kelima, meski ada regulasi nasional, kota-kota diberi ruang untuk menyesuaikan. Intinya, hal baik bisa terwujud jika kita juga menyiapkannya dengan cara yang baik.

 

Makan siang bukan sekadar makan—di Jepang, ini bagian dari pelajaran hidup.

 

Pengalaman di Kota Toyota menunjukkan bahwa program makan siang bergizi di sekolah bukan sekadar soal dapur dan logistik. Lebih dari itu, ia menjadi jantung dari pendidikan karakter, kebersihan, kerja sama, dan penghargaan terhadap pangan. Jika Indonesia ingin melangkah ke arah serupa, pelajaran dari Jepang ini bisa menjadi rujukanbukan untuk ditiru mentah-mentah, tapi diadopsi dengan cermat, bertahap, dan berbasis kearifan lokal. [GS]