
Aku tumbuh di kota yang gemerlap bangunan tinggi, akses cepat, kehidupan serba urban. Tapi di balik kemegahan itu, ruang-ruang kecil untuk anak-anak semakin menghilang. Kalau kala itu aku masih kecil, mungkin aku bisa bilang: “Aku tahu di mana trotoar yang gelap dan bikin takut pulang.” Namun suara kecil itu tak pernah benar-benar didengar. Kala kota ini dibangun, kata pepatah, “untuk siapa kita membangun?” Jika pilihan tata kota tak memasukkan mereka yang paling rentan anak-anak lalu untuk siapa semua ini? Kami yang berharap ranah publik menjadi tempat bermain aman sering kali hanya menjadi cerita yang terlupakan, bukan panggilan yang didengar.
Sejak mulai menulis dan menyuarakan hal-hal kecil, aku makin paham bahwa anak-anak tahu lebih banyak daripada sekadar alamat sekolah atau jalan pulang. Mereka tahu di mana taman favorit mereka yang rusak. Mereka tahu keberadaan posyandu yang ditinggalkan. Mereka tahu di mana kursi tunggu umum seharusnya bisa dipasang. Tapi lagi-lagi, mereka tahu, namun tak pernah ditanya. Apa gunanya menjadikan kota ini ramah bagi anak jika proses menyusunnya menutup pintu dialog dengan mereka yang suatu hari akan mewarisinya? Anarki jalan, lampu padam, trotoar tanpa rambu aman, semua itu bukan sekadar soal perencanaan kota yang buruk, tapi juga soal perspektif pembangunan yang mengabaikan suara kecil yang paling rentan.
Kota inklusif bukan hanya rapi di permukaan. Kota inklusif adalah kota yang mendengar dan menyapa, menyediakan ruang yang memenuhi kebutuhan fisik sekaligus memberi tempat sosial dan emosional bagi anak-anak: ruang untuk bergerak, berbicara, dan bermimpi. Saat mereka ikut merancang ruang publik sekadar memilih warna ayunan, menata taman bermain, atau menyumbang ide lewat forum diskusi maka kota bukan lagi sekadar lanskap indah tanpa makna. Ia menjadi rumah yang hangat, penuh kenangan, dan berakar di dalam jiwa mereka yang tumbuh di dalamnya. Karena keadilan tidak mengenal usia, dan keberpihakan itu diuji ketika kita memberi ruang bagi yang paling jarang didengar. Pulang bukan soal alamat. Pulang adalah saat kamu merasa diterima, didengar, dan dilibatkan. Apakah kita cukup berani membiarkan mereka menunjukkan arah? Bukan untuk menggantikan, tapi untuk mengingatkan bahwa masa depan tak pernah adil kalau mereka tak pernah diundang bicara.
Akhir-akhir ini, rasanya ada yang berubah. Mulai banyak kota yang tidak hanya mengejar predikat Kota Layak Anak, tapi benar-benar mencapainya dengan cara yang membuatku tersenyum, melibatkan anak-anak langsung dalam perencanaan pembangunan. Aku melihat foto-foto anak duduk melingkar di balai kota, menceritakan taman impian mereka. Ada yang ingin ayunan warna biru laut, ada yang meminta jalur sepeda agar bisa berangkat sekolah dengan aman. Mereka tidak hanya hadir untuk formalitas, tapi didengar, dicatat, dan dilibatkan sampai ide-ide itu diwujudkan.
Melihatnya, aku teringat masa kecilku. Andai dulu aku punya kesempatan seperti itu mengusulkan lampu jalan di gang rumah atau minta perbaikan trotoar, mungkin rasa memiliki terhadap kota ini akan tumbuh lebih cepat. Karena ketika anak-anak diajak ikut menentukan, mereka tak hanya menjadi penghuni kota, tapi juga penjaga masa depannya.
Kota yang benar-benar layak untuk anak adalah kota yang memberi ruang bagi mereka untuk berpendapat, bermimpi, dan melihat mimpinya menjadi nyata. Di mata orang dewasa, mungkin ini hanya program partisipasi publik. Tapi di mata anak-anak, ini adalah undangan resmi untuk menjadi bagian dari cerita kotanya sendiri. Dan itu, menurutku, adalah langkah terindah menuju masa depan yang inklusif.
Artikel oleh:
Sofyan Hanafi
#APEKSInternship Batch 7
