Tulisan ini terinspirasi oleh program yang terdapat di APEKSI, yakni Knowledge Management Forum 2022 di Kota Depok pada 16-17 November 2022. Forum ini memiliki tema Ekonomi Sirkular, Upaya dan Solusi dalam Pencapaian Ekonomi Hijau. Adapun peserta dalam forum ini yaitu para kepala dinas dan kepala badan yang mewakili kota-kota Pokja (Kelompok Kerja) Perubahan Iklim APEKSI.
Pertumbuhan penduduk berbanding lurus dengan jumlah timbulan sampah. Hasil analisis tersebut menjadi dasar bagi para pengambil keputusan, khususnya di bidang lingkungan hidup, untuk memproyeksikan kebutuhan fasilitas pengelolaan sampah seiring dengan jumlah timbulan sampah yang akan ditangani. Adapun fasilitas pengelolaan sampah yang sampai saat ini masih populer yaitu TPS dan TPA. Menurut situs Waste4Change, TPS atau Tempat Penampungan Sementara merupakan tempat penampungan sampah secara sementara, yang nantinya akan diangkut ke tempat pengolahan sampah hingga TPA. Sedangkan TPA atau Tempat Pemrosesan Akhir merupakan tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
Pembangunan TPS dan TPA dalam rangka mengelola timbulan sampah tidak selamanya menjadi solusi yang baik, karena terdapat beberapa konsekuensi negatif seperti kebutuhan luas lahan pembangunan yang tidak sedikit serta terkadang mengganggu estetika dan lalu lintas. Selain itu, terdapat konsekuensi negatif dari segi operasional pengelolaan sampah yang mengandalkan TPS dan TPA, yaitu waktu dan biaya (khususnya transportasi) yang tidak sedikit sehingga sampah yang akan dikelola masih berpeluang untuk menebar vektor penyakit, polusi udara, dan polusi air hasil dekomposisi sampah di tempat yang tidak seharusnya, seperti jalan raya, pemukiman, dan pusat kegiatan komersial.
Belakangan ini terdapat paradigma baru terhadap konteks pengelolaan sampah, yaitu ekonomi sirkular. Ekonomi sirkular tidak hanya meliputi konteks pengelolaan sampah saja, tetapi juga konteks efisiensi sumber daya dan perhatian terhadap rantai nilai. Penerapan ekonomi sirkular ini dapat dilakukan melalui prinsip 9R, yang merupakan pengembangan dari prinsip 3R (reduce, reuse, recycle), antara lain:
- Refuse
- Rethink
- Reduce
- Reuse
- Repair
- Refurbish
- Remanufacture
- Repurpose
- Recycle
- Recover
Terdapat fasilitas pengelolaan sampah yang telah menerapkan paradigma ekonomi sirkular dan dapat menjadi alternatif pengganti TPS dan TPA yaitu TPS3R dan TPST. Menurut situs Waste4Change, TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle) bertujuan untuk mengurangi kuantitas dan/atau memperbaiki karakteristik sampah, yang akan diolah lebih lanjut di TPA eksisting.
Selain itu, TPS3R diharapkan memiliki peran dalam menjamin kebutuhan lahan yang semakin kritis untuk penyediaan TPA di perkotaan. Adapun TPST (Tempat
Pengolahan Sampah Terpadu) merupakan tempat dilakukannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah yang lebih kompleks daripada TPS3R. TPST mirip dengan TPA karena TPST dapat mengelola sampah hingga pada tahap pemrosesan akhir sehingga sampah aman untuk dikembalikan ke media lingkungan.
Infografis Perbandingan Fasilitas TPS, TPS3R, TPST, dan TPA
Sumber: waste4change.com, diakses pada 18 November 2022
Walau demikian, paradigma ekonomi sirkular sebagai paradigma baru pada konteks pengelolaan sampah sejatinya tidak cukup diterapkan oleh pemerintah saja melalui pembangunan TPS3R dan TPST. Penerapan ekonomi sirkular bukanlah bertujuan untuk mengurangi pembangunan TPS dan TPA, melainkan bertujuan untuk mengurangi jumlah timbulan sampah yang akan ditimbun di TPA, baik secara open dumping maupun landfill. Oleh karena itu, ekonomi sirkular tentunya memerlukan penerapan oleh pihak-pihak lain seperti masyarakat maupun bisnis/industri melalui prinsip 9R mulai dari rumah maupun lokasi usaha. Lantas, masih perlukah membangun TPS dan TPA?
Edra Ertantyo
Tim Internship
Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
([email protected])