Transkip Pidato Ketua APEKSI Bima Arya Sugiarto (Walikota Bogor)
Special Event 1 – Festival HAM Semarang 16-18 November 2021
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Selamat sore salam sejahtera, untuk kita semua.
Mas Hendi, sahabat saya, Walikota Semarang, selamat atas penyelenggaraan acara yang mungkin lebih penting dari yang kita bayangkan ini.
Ini pertama kali APEKSI berkolaborasi bersama-sama Komnas HAM dan KSP, untuk mengambil bagian di acara Festival HAM ini.
Terima kasih kepada rekan-rekan Walikota, kepada yang sudah hadir, untuk berbagi pada hari ini. Acara ini penting dan bahkan mungkin jauh lebih penting dari yang kita bayangkan Bapak Ibu sekalian.
Sejarah dunia, ini memberikan kita banyak sekali pelajaran. Banyak peradaban kota, yang maju, yang hebat, yang dibangun cukup lama dengan teknologi cangih, dengan keterampilan yang jauh melebihi rata-rata, tetapi kemudian hancur dalam waktu yang tidak terlalu lama, karena konflik sosial, karena konflik agama, karena konflik politik.
Teknologi yang canggih, infrastruktur yang dahsyat, hancur sekejap karena konflik.
Ini mengajarkan kepada kita, Bapak Ibu sekalian dan rekan-rekan semua, bahwa membangun kota bukan hanya membangun lembaganya, bukan hanya organisasinya, bukan hanya perangkat politiknya, dan ternyata juga bukan hanya infrastrukturnya.
Tetapi saja: membangun kota, membangun peradaban kota, adalah membangun manusianya. State Building, perangkat-perangkat kekuasaan harus ditata: Yes. Physical Building, infrastruktur fisik harus dibangun: Yes. Tetapi kita jangan lupa bahwa Nation Building, membangun karakter, membangun manusia, juga harus mengiringi state building dan physical building tadi.
Membangun kota harus diiringi dengan ikhtiar untuk membangun manusia yang menghormati sesama manusia.
Hari ini, Bapak Ibu sekalian, rekan-rekan, para sahabat sekalian, kita dihadapkan pada tantangan berat : demokrasi liberal, kontestasi politik, dikejar target-target politik. Seringkali kemudian proses pemilu, proses pilkada, memunculkan pemimpin-pemimpin politik yang orientasinya jangka pendek, populerisme, menelurkan kebijakan-kebijakan yang populer saat itu tapi belum tentu berdimensi jangka panjang.
Targetnya mungkin dukungan politik, targetnya mungkin membangun kekuatan-kekuatan politik di kalangan tertentu.
Tetapi kemudian berbahayanya bisa terjebak ke dalam narasi politik-politik sectarian yang jauh dari target kita membangun manusia, memuliakan manusia.
Hari ini kita menyaksikan betapa berat bangsa ini keluar dari jebakan-jebakan politik sektarian, dari jebakan-jebakan politik jangka pendek. Seolah dikejar target, seolah diberikan deadline, untuk popularitas, untuk populerisme untuk hal-hal yang langsung dirasakan jangka pendek.
Padahal membangun manusia, melakukan edukasi, menyemaikan nilai-nilai hak asasi, bukan persoalan quick wins, bukan persoalan 100 hari, tapi persoalan jangka panjang.
Tidak mudah bagi kita semua seringkali dihadapkan pada pilihan-pilihan, tekanan massa, demonstrasi atas nama agama, isu-isu hukum yang bercampur dengan politik, sehingga berat bagi kita melangkah. Padahal bagi kepala daerah, bagi pemimpin : memanusiakan manusia, memuliakan warga negara, dan menjamin hak minoritas tanpa terkecuali adalah kewajiban yang paling utama.
Terdengar berat, Bapak Ibu sekalian. Tapi sejatinya kita semua punya tradisi. Sering kali yang ditampilkan adalah hal-hal yang serius: ibadah yang berdampingan, kerukunan antar pemuka agama. Tapi sering kali hanya sesederhana tergambar melalui kuliner. Mas Hendi semalam menampilkan foto soto yang diklaim oleh Semarang, contoh resmi, contoh yang paling sederhana dari keberagaman. Kuahnya dari India, sounnya dari Tionghoa, kemudian kacangnya dari Bogor, oh ndak ya? Itu dari kuliner, tergambar itu semua.
Di Bogor, Bapak Ibu sekalian, saya selalu dengan bangga cerita: ada persahabatan antara etnis Tionghoa: Guan Co, dengan etnis pribumi: Pak O’ok. Guan Co nasi goreng, Pak O’ok sate ayam. Ada dari tahun 60-an hingga sekarang berdampingan tidak terpisah sampai anak cucunya. Tidak pernah mau dipisahkan walaupun dikasih ruko yg mewah, yang satu dikasih tempat yang lain. Mereka selalu bersama. Terdengar sederhana, tapi inilah tradisi luar biasa, investasi sosial dari para leluhur kita di masa lalu. Kita punya modal itu Bapak Ibu sekalian.
Jadi membangun kota semestinya bukan hanya mempercantik kota, tetapi juga membangun karakter manusia. Dan ini bukan melulu soal quick win, ini bukan melulu soal 100 hari, 1 tahun, 2 tahun. Ini adalah persoalan membangun generasi, Bapak Ibu sekalian.
Membangun generasi adalah menyelesaikan persoalan hukum, walaupun ditekan kelompokkelompok ekstrim.
Membangun generasi adalah mendemonstrasikan keberpihakan kepada minoritas, agar minoritas merasa ikut memiliki kota yang mereka cintai.
Membangun generasi adalah melakukan edukasi tanpa terkecuali tentang arti kota inklusif.
Membangun generasi adalah menciptakan ruang terbuka publik yang nyaman bagi semua, tempat warga saling berbagi apapun pilihan pilkadanya, apapun pilihan presidennya, dan apapun pekerjaan dan latar belakang sosialnya.
Hari ini tantangan kita sekali lagi berat. Banyak kepala daerah visioner yang satu frekuensi. Tetapi masih banyak unsur-unsur pemerintahan yang harus kita berikan edukasi, yang masih belum paham sepenuhnya tentang hak asasi manusia. Jelas, mereka perlu dibantu. Sangat jelas, mereka perlu dicerahkan.
Bapak dan Ibu sekalian…
Hari ini, perjuangan kita bukan hanya perjuangan melawan kebodohan atau ketidaktahuan. Tetapi perjuangan hari ini adalah juga melawan hasrat politik yang memabukkan dari para petualang politik yang memanfaatkan isu-isu sectarian demi target-target politik.
Dan yang paling berbahaya adalah gabungan antara kebodohan, ketidaktahuan dan hasrat ambisi politik yang memabukkan tadi.
Hadirin sekalian, perjuangan kita adalah memberikan dukungan kepada semua kepala daerah tanpa terkecuali, bahwa we are on the right track dari masa ke masa untuk membangun kota yang inklusif.
Perjuangan kita sekalian adalah tidak hanya memperjuangkan antar donor agar donor memberikan bantuan kepada kepala daerah. Tapi perjuangan kita adalah menggerakkan kolaborasi di seluruh elemen kota agar terbangun peradaban kota yang terbuka dan inklusif.
Sungguh perbedaan adalah keniscayaan. Karena keberagaman adalah keharusan. Tetapi kebersamaan dan persatuan harus terus kita perjuangkan.
Mari kita terus berkolaborasi untuk membangun peradaban kota. Kota yang inklusif, kota yang memanusiakan manusia.
Terima kasih.
Wassalaamu’alaikum, warahmatullahi wabarakatuh.