Siapa Urus Makan Bergizi Gratis (MBG)?

 

CATATAN DARI DISKUSI TEMATIK: PERENCANAAN, PENGANGGARAN, dan PELAKSANAAN PROGRAM MAKAN BERGIZI GRATIS (MBG)

 

“Tak ada yang lebih merisaukan Pemerintah Kota akhir-akhir ini selain menunggu kejelasan berbagai kebijakan/program Kabinet Merah Putih untuk dilaksanakan di daerah. Salah satunya, program Makan Bergizi Gratis,” demikian pengantar yang disampaikan oleh Alwis Rustam, Direktur Eksekutif APEKSI. Pengantar ini menjadi latar kerja kolaborasi APEKSI dan Forum Bakti dalam menyelenggarakan Diskusi Tematik: Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) secara daring pada Senin, 23 Desember 2024.

 

Berdasarkan Rekap Nasional Semester Ganjil TA 2024/2025, jumlah peserta didik di Indonesia mulai jenjang PAUD hingga SMA adalah 53.300.038 siswa di 439.444 sekolah. Mereka adalah sebagian penerima manfaat Makan Bergizi Gratis (MBG). Selain peserta didik, masih ada balita, murid pesantren, ibu hamil, dan ibu menyusui. MBG merupakan program 100 hari kerja pertama pemerintahan Presiden Prabowo, sebuah langkah yang dianggap strategis mewujudkan sumber daya manusia Indonesia unggul.

 

Dadang Wihana, Kepala Bappeda Depok sekaligus Wakil Ketua Pengurus Forum Bakti memoderatori diskusi dengan pertanyaan pemantik: Siapa Urus Makan Bergizi Gratis? Narasumber untuk diskusi ini antara lain, Dr. Hendriwan, M.H., M.Si., Direktur Perencanaan Anggaran Daerah sekaligus Plh Sesditjen Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, dan Ary Santoso, S.Stat., M.Si., M.I.Pol., Staf Khusus Badan Gizi Nasional. 

 

Badan Gizi Nasional (BGN) yang mengampu program ini punya pertimbangan mendasar menyatakan program ini mendesak. Di antaranya, fakta terkait kecukupan gizi untuk tumbuh kembang anak, stunting, skor IQ, rata-rata jumlah anggota keluarga per kelas ekonomi rumah tangga, hingga lama sekolah. “Ini critical point of intervention,” demikian argumen Ary Santoso. Ia juga berbagi tentang berbagi pilot project MBG yang sudah diimplementasikan selama 10 bulan.

 

Apa saja di BGN ini? Ada Kepala, ada Wakil, ada Kedeputian Teknis, Kedeputian Sistem dan Tata Kelola, Kedeputian Penyediaan dan Distribusi, Kedeputian Promosi dan Kerjasama, dan Kedeputian Monitoring dan Pengawasan. Di bawah Kedeputian Penyediaan dan Distribusi, ada Kantor Pelayanan di 20 Provinsi. Harusnya ada di semua provinsi, tapi baru akan ada di 20. Di Kab/Kota tidak ada kantor, langsung ke Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Di sinilah dapur umumnya.” jelas Ary.

 

Dari Ditjen Keuda, Hendriwan menyampaikan postur APBD dan besaran kontribusi Pemerintah Daerah untuk mendukung program MBG dari APBD berbasis PAD. Bukan hanya memberi dampak terhadap anak, program MBG diharapkan bisa menimbulkan perputaran ekonomi, terutama bagi desa. Nilai total anggaran yang disediakan dari APBN yaitu Rp71 triliun. Dengan basis PAD, Pemerintah Daerah diperkirakan memiliki kemampuan kontribusi APBD untuk program MBG sebesar Rp23,77 triliun. Dari angka itu, kota memberikan kontribusi 23,73% atau sebesar Rp5,64 triliun. Persentase per kota bisa berbeda, tergantung kategori kemampuan fiskal. Ada yang kasih 6,5% PAD, ada yang 11℅ PAD. Jadwalnya tidak begitu pas dengan alur penyusunan APBD. Belanja daerah tidak bisa tanpa aturan. Perlu Petunjuk Teknis yang jelas.

 

“Kita akan menyiapkan Juknis Dukungan MBG yang bersumber dari APBD. Ditjen Bina Bangda akan menyiapkan dan menyusun kode rekening dan nomenklatur untuk program, kegiatan dan sub kegiatan Makan Bergizi. Ditjen Keuda akan menyiapkan dan menyusun kode rekening dan nomenklatur untuk sub rincian objek belanja Makan Bergizi. Ketika belum ada, anggarkan di belanja tak terduga, nanti kalau ada juknisnya bisa digeser,” kata pak Hendriwan.

 

Narasumber dari Badan Gizi Nasional (BGN) dan Kemdagri menjelaskan panjang lebar. Namun untuk saat ini, respon terbanyak dari Pemerintah Kota adalah Andi Lau alias antara dilema dan galau. 500 peserta diskusi yang memadati ruang virtual antusias bertanya untuk mendapatkan jawaban: Siapa urus MBG? Bukan hanya anggaran, tapi juga teknis lapangan. “Kami masih Andi Lau, alias antara dilema dan galau,” begitu kata mereka. Banyak bertanya bukan karena pesimis, tapi seperti kata iklan, urusan anak se-Indonesia tidak bisa coba-coba. Harus dipikirkan matang dan kerja-kerja kolaborasi menjadi keharusan.

 

Ini baru soal anggaran. Masih ada soal-soal lain seperti ketersediaan pangan, infrastruktur, mitigasi risiko, supply chain, KLB, SDM, kluster sekolah, pengelolaan sampah, dan lainnya. Tapi tenang saja, seperti kata Indah Wibi Nastiti, Manajer Umum APEKSI saat menutup diskusi, “Ini baru sesi pembuka wawasan. Nanti kita lanjut lagi di diskusi seru berikutnya bersama APEKSI dan Forum Bakti.” [GS]