Penyandang disabilitas dapat diartikan sebagai orang dengan hambatan (hambatan fisik, mental, intelektual, dan/atau sensori) dalam jangka waktu yang lama. Berdasarkan data Survei Ekonomi Nasional di tahun 2020, terdapat sebesar 10,38% penduduk Indonesia penyandang disabilitas. Hal tersebut menandakan bahwa 1 dari 10 penduduk merupakan difabel. Dengan angka tersebut, Indonesia menjadi negara dengan prevalensi disabilitas tertinggi di Asia Tenggara (UNESCAP).
Di Indonesia, terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang melindungi, menghormati, memajukan, serta memenuhi hak-hak penyandang disabilitas. Salah satu peraturan yang secara khusus membahas penyandang disabilitas adalah UU RI No.8 Tahun 2016. Dalam peraturan tersebut, tepatnya di Pasal 2, dinyatakan bahwa pelaksanaan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas berasaskan dari: penghormatan terhadap martabat; otonomi individu; tanpa diskriminasi; partisipasi penuh; keragaman manusia dan kemanusiaan; kesamaan kesempatan; kesetaraan; aksesibilitas; kapasitas yang terus berkembang dan identitas anak; inklusif; serta perlakuan khusus dan perlindungan lebih. Dengan adanya peraturan tersebut, penyandang disabilitas memiliki hak yang setara untuk beraktivitas secara mandiri dan terlibat dalam berbagai kegiatan di tengah masyarakat.
Di bulan Oktober yang lalu, tepatnya pada tanggal 6-13 Oktober 2024, Pekan Paralimpiade Nasional ke-17 (PEPARNAS XVII) diselenggarakan di Kota Surakarta. PEPARNAS XVII merupakan kompetisi olahraga tingkat nasional untuk penyandang disabilitas kategori hambatan fisik, hambatan intelektual, dan hambatan penglihatan. Seperti kebanyakan acara lainnya, PEPARNAS XVII membuka rekrutmen keperluan workforce dan volunteer untuk mendukung berjalannya acara. Saya sangat antusias dengan rekrutmen tersebut. Ketertarikan saya di bidang perencanaan kota yang inklusif mendorong saya untuk mendaftar. Terlebih, saya juga bergabung sebagai intern di APEKSI yang berperan untuk mendukung pembangunan otonom kota-kota di Indonesia. Hal tersebut semakin meyakinkan saya untuk mengikuti rekrutmen. Setelah mengikuti proses rekrutmen, saya dinyatakan lolos sebagai volunteer dan mengikuti beberapa pelatihan pengantar sebelum dimulainya acara.
Selama bertugas di PEPARNAS, saya menyaksikan para-atlet bertanding dengan penuh semangat. Tidak hanya bertanding untuk membanggakan daerah masing-masing, dari acara ini para-atlet juga dapat membuka peluang untuk bertanding di tingkat internasional. Meskipun begitu, hasil dari kompetisi ini bukanlah hal yang paling menarik bagi saya. Melihat bagaimana para-atlet dan pemerintah daerah bersinergi untuk melakukan yang terbaik, menyadarkan saya bahwa hal tersebut merupakan sebuah simbol inklusivitas yang sangat penting. Para-atlet didukung penuh oleh pemerintah daerah untuk berlatih dan bertanding dengan fasilitas yang aksesibel. Fasilitas ramah penyandang disabilitas tidak hanya tersedia di Kota Surakarta sebagai venue utama dari acara PEPARNAS XVII, tetapi juga di daerah masing-masing. Pak Nunung, salah satu pelatih dan pendamping para-atlet dari Provinsi Kalimantan Timur menyatakan bahwa di Kota Samarinda, fasilitas pendukung untuk latihan para-atlet sudah memadai. Tersedia ramp, guiding block, dan fasilitas-fasilitas khusus olahraga lainnya yang dapat digunakan para-atlet. Penyediaan fasilitas yang aksesibel bagi penyandang disabilitas tersebut menjadi salah satu bentuk pemenuhan hak penyandang disabilitas dari pemerintah.
Selain penyediaan fasilitas, bentuk pemenuhan hak penyandang disabilitas lainnya yang dapat ditemui di PEPARNAS XVII adalah pemberdayaan penyandang disabilitas sebagai volunteer maupun workforce. Di acara ini, para penyandang disabilitas yang bertugas dibebankan pekerjaan sesuai dengan kapasitasnya. Menurut saya, adanya partisipasi aktif para penyandang disabilitas di acara ini menggambarkan euforia yang sama dan setara di kehidupan sosial.
Penyelenggaraan PEPARNAS XVII sebaiknya menjadi inspirasi seluruh kota di Indonesia untuk menyelenggarakan pembangunan inklusif. Meskipun di berbagai kota sudah dapat dilihat banyaknya fasilitas seperti ramp dan guiding block, namun terkadang fasilitas tersebut belum dipasang sebagaimana mestinya. Misalnya, pada trotoar di suatu jalan sudah memiliki jalur guiding block, tetapi pada titik tertentu jalur tersebut terpotong oleh adanya pot bunga ataupun pohon. Hal tersebut terdengar sepele, namun perlu dievaluasi dan diperbaiki agar tercipta lingkungan yang aksesibel dan inklusif. Begitu halnya dengan kontribusi penyandang disabilitas di masyarakat. Seringkali, mereka menghadapi berbagai tantangan yang menghambat untuk bisa aktif berkegiatan. Para penyandang disabilitas memerlukan dukungan penuh, baik itu dari pemerintah dan masyarakat agar bisa dengan leluasa berkegiatan dan berkontribusi di masyarakat. Saya percaya bahwa kota-kota di Indonesia dapat bertransformasi menjadi kota inklusif. Peran pemerintah kota yang melindungi dan mendorong pemberdayaan penyandang disabilitas sangat diperlukan untuk mewujudkan hal tersebut. Di sinilah APEKSI dapat berperan. Harapannya, terjalin kerja sama antara pemerintah kota dengan APEKSI untuk menciptakan ruang-ruang kota di mana seluruh warganya dapat berpartisipasi secara aktif dan setara.
Artikel oleh: Jasmine Akhiru Ramadhanti #APEKSInternship
Gambar: Jasmine Akhiru Ramadhanti, PB Peparnas XVII